Dari KBBI, pribumi adalah penghuni asli, orang yang
berasal dari tempat yang bersangkutan. Sedangkan non-pribumi berarti yang bukan
pribumi atau penduduk yang bukan penduduk asli suatu negara. Dari makna
tersebut, pribumi berarti penduduk yang asli (lahir, tumbuh, dan berkembang)
berasal dari tempat negara tersebut berada. Jadi, anak dari orang tua yang
lahir dan berkembang di Indonesia adalah orang pribumi, meskipun sang
kakek-nenek adalah orang asing.
Namun pendapat yang beredar luas di Indonesia mengenai
istilah pribumi dan non-pribumi adalah pribumi didefinisikan sebagai penduduk
Indonesia yang berasal dari suku-suku asli (mayoritas) di Indonesia. Sehingga,
penduduk Indonesia keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit
putih), maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah
beberapa generasi dilahirkan di Indonesia. Pendapat seperti itu karena sentimen
masyarakat luas yang cenderung mengklasifikasikan penduduk Indonesia
berdasarkan warna kulit mereka.
Selain warna kulit, sebagian besar masyarakat
mendefinisikan sendiri (melalui informasi luar) berdasarkan budaya dan agama.
Sehingga jika penduduk Indonesia keturunan Tionghoa dianggap sebagai non
pribumi, maka penduduk Indonesia keturunan Arab (bukan dari suku asli) dianggap
sebagai pribumi.
B.
Sejarah Awal
Munculnya Pribumi dan Non Pribumi
Golongan pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya
perbedaan mendasar (diskriminasi) terutama dalam perlakuan yang berbeda oleh
rezim yang sedang berkuasa. Ini hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah
pemerintahan otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit.
Contoh, di zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia
secara berbeda didasari oleh etnik/keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda
akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang
mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan
sebagai kelas rendah (“kasta sudra”).
Setelah merdeka, para pejuang kemerdekaan kita (Bung Karno,
Hatta, Syahrir, dll) berusaha menghapuskan diskriminasi tersebut. Para founding
father Bangsa Indonesia menyadari bahwa selama adanya diskriminasi antar
golongan rakyat, maka persatuan negara ini menjadi rentan, mudah diobok-obok
oleh kepentingan neo-imperialisme. Bung Karno telah
meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau di majalah “Suluh
Indonesia” yang diterbitkan tahun 1926. Ia berpendapat
bahwa untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa yang kuat
dibutuhkan semua elemen/golongan Untuk itu beliau mengajukan untuk
menyatukan kekuatan dari golongan Nasionalisme,
Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan superpower. Hal inilah
yang ditakuti oleh Amerika dan sekutunya serta para pemberontak (penghianat,
separatis) di negeri ini dengan berbagai alibi.
Setelah pemerintahan Bung Karno direbut oleh kekuatan
liberalis-kapitalis melalui Jenderal yang berkuasa dengan tangan besi, Pak
Harto, maka konotasi pribumi dan non-pribumi kembali
“terpelihara subur”. Agenda pembangunan makro yang direntenir oleh IMF dan Bank
Dunia membutuhkan golongan istimewa (haruslah minoritas) serta mengabaikan
golongan mayoritas. Maka perjalanan bangsa setelahnya menjadi pincang yang luar
biasa. Segelintir golongan memperkaya diri yang luar biasa, sedangkan golongan
terbesar harus bekerja keras dengan kesejahteraan pas-pasan. Indonesia yang
kaya raya dengan sumber daya alam baik di darat maupun laut hanyalah dirasakan
oleh golongan penguasan dan “peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima
ampas kekayaan alam Indonesia. Semua sari kekayaan di”sedot’ oleh perusahaan
asing dan segelintir penghianat bangsa.
Inilah mengapa, diera orde baru, konflik horizontal
antara penduduk miskin (disebut dan dilabeli sebagai pribumi) dengan si
kaya (umumnya dilabeli sebagai non pribumi) berkembang dan namun pendam.
Kebencian diskriminasi ini akhirnya pecah di tahun 1998.
Namun sangat disayangkan, hanya segelintir kelompok si kaya – “non-pribumi”
yang kena getahnya. Massa kepalang berpikiran semua orang keturunan adalah
non-pribumi, sehingga gerakan mereka ibarat “menembak burung di angkasa
raya, namun sapi di sawah yang mati”. Burung (penguasa, penghianat,
si-kaya) masih beterbangan di angkasa Indonesia, Singapura, dan
Amerika. Hingga saat ini, pemerintah hanya dapat menonton “burung-burung”
tersebut beterbangan bebas……Yang tewas adalah rakyat miskin dan jelata.
C.
Makna yang
Terkandung Dalam Pasal 26 UUD 1945
Dalam
pasal 26 UUD 1945 terkandung beberapa ayat didalamnya yang menjelaskan tentang
warganegara, yakni :
Ayat
(1) : Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga
negara.
Ayat
(2) : Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat
tinggal di Indonesia.
Ayat (3) : Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan
undang- undang.
WNI Menurut Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 “Seorang Warga Negara Indonesia
(WNI) adalah orang yang diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia”
Penduduk Menurut pasal 26 ayat (2) UUD 1945 “Penduduk adalah warga
negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Bukan
Penduduk, adalah orang-orang asing yang tinggal dalam negara bersifat sementara
sesuai dengan visa.”
Istilah Kewarganegaraan (citizenship) memiliki arti keanggotaan yang
menunjukkan hubungan atau ikatan antara negara dengan warga negara, atau segala
hal yang berhubungan dengan warga negara. Pengertian kewarganegaraan dapat
dibedakan dalam arti : 1) Yuridis dan Sosiologis, dan 2) Formil dan
Materiil.
D. Berakhirnya
Diskriminasi Secara Konstitusional
Setelah era reformasi, beberapa tokoh bangsa Indonesia berusaha
mengangkat kembali kekuatan persatuan dengan menghilangkan diskriminasi perusak
bangsa. Reformasi birokrasi yang menghasilkan sedikit perubahan dalam
mengurangi praktik pemerintahan KKN
yang sarat dengan bau kekeluargaan, etnis, dan agama. Maka
disusunlah UU Kewarganegaran serta menghilangkan secara hukum diskriminasi bagi
etnis Tionghoa dan etnis minoritas di era Gusdur. Setelah berlakunya UU 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, maka setiap
manusia yang lahir di Indonesia dianggap warga negara Indonesia tanpa ada
memandang embel-embel pribumi atau non-pribumi yang melekat karena perbedaan
latar belakang etnis. Yang diberlakukan saat ini adalah warga negara.
Ada beberapa kriteria Warga Negara Indonesia (WNI) dalam UU 12 tahun
2006 (diambil sebagian) adalah:
- Seorang yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNI dan Ibu WNI, ayah WNI dan ibu WNA, atau ayah WNA dan ibu WNI.
- anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
- Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara (diberikan oleh Presiden dan pertimbangan DPR RI)
E. Sikap Mahasiswa Dalam Menghadapi Isu Pribumi dan Non Pribumi
Isu pribumi dan non pribumi hanyalah hasil dari perlakuan diskriminatif
pada masa penjajahan dahulu. Sebagai mahasiswa dan warga negara Indonesia, kita
memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini. Kita harus kembali berpedoman
pada pasal 26 UUD 1945 mengenai dasar dasar kriteria warga negara Indonesia.
Apabila kita sudah mengakui sebagai sesama WNI, kita sudah tidak boleh
memandang perbedaan suku, ras, budaya, dan agama sebagai permasalahan, dan
saling merendahkan status antara satu dengan lainnya. Kita wajib menyadarkan
sesama kita bahwa tantangan terbesar yang sedang kita hadapi bukanlah etnis,
suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga perbedaan pribumi dan non-pribumi.
Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan, kemiskinan, lunturnya nasionalisme
membangun bangsa, dan ancaman pihak asing dalam bentuk ekonomi, politik,
pertahanan dan multi nasional. Perjuangan kita adalah untuk mewujudkan sistem
pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
Pertanyaan:
1.
Apakah ada
di Indonesia penduduk asli?
Penduduk wilayah Nusantara hanya
terdiri dari dua golongan yakni Pithecantropus Erectus beserta manusia
Indonesia purba lainnya dan keturunan bangsa pendatang di luar Nusantara yang
datang dalam beberapa gelombang. Berdasarkan
fosil-fosil yang telah ditemukan di wilayah Indonesia, dapat dipastikan bahwa
sejak 2.000.000 (dua juta) tahun yang lalu wilayah ini telah dihuni.
Penghuninya adalah manusia-manusia purba dengan kebudayaan batu tua atau
mesolithicum seperti Meganthropus Palaeo Javanicus, Pithecanthropus Erectus,
Homo Soloensis dan sebagainya. Manusia-manusia purba ini sesungguhnya lebih
mirip dengan manusia-manusia yang kini dikenal sebagai penduduk asli Australia.
Dengan demikian, yang berhak
mengklaim dirinya sebagai “penduduk asli Indonesia” adalah kaum Negroid, atau
Austroloid, yang berkulit hitam. Manusia Indonesia purba membawa kebudayaan
batu tua atau palaeolitikum yang masih hidup secara nomaden atau berpindah
dengan mata pencaharian berburu binatang dan meramu. Wilayah Nusantara kemudian
kedatangan bangsa Melanesoide yang berasal dari teluk Tonkin, tepatnya dari
Bacson-Hoabinh. Dari artefak-artefak yang ditemukan di tempat asalnya
menunjukan bahwa induk bangsa ini berkulit hitam berbadan kecil dan termasuk
type Veddoid-Austrolaid.
Ini mengakibatkan benturan yang tidak terelakan
antara kebudayaan palaeolithikum dengan kebudayaan yang mesolithikum. Alat-alat
sederhana seperti kapak genggam atau choppers, alat-alat tulang dan tanduk rusa
berhadapan dengan kapak genggam yang lebih halus atau febble, kapak pendek dan
sebagainya. Pertemuan ini dapat mengakibatkan beberapa hal yaitu:
1.
Penduduk
asli ditumpas, atau
2.
Mereka
diharuskan masuk dan bersembunyi di pedalaman untuk menyelamatkan diri, atau
3. Mereka
yang ditaklukkan dijadikan hamba, dan kaum perempuannya dijadikan harem-harem
untuk melayani para pemenang perang.
Sekitar tahun 2000 SM, bangsa Melanesoide yang
akhirnya menetap di Nusantara kedatangan pula bangsa yang kebudayaannya lebih
tinggi yang berasal dari rumpun Melayu Austronesia yakni bangsa Melayu Tua atau
Proto Melayu, suatu ras mongoloid yang berasal dari daerah Yunan, dekat lembah
sungai Yang Tze, Cina Selatan. Alasan-alasan yang me-nyebabkan bangsa Melayu
tua meninggalkan asalnya yaitu :
1. Adanya desakan suku-suku liar yang datangnya
dari Asia Tengah;
2. Adanya peperangan antar suku;
3. Adanya bencana alam berupa banjir akibat
sering meluapnya sungai She Kiang dan sungai-sungai lainnya di daerah tersebut.
Suku-suku dari Asia tengah yakni Bangsa Aria
yang mendesak Bangsa Melayu Tua sudah pasti memiliki tingkat kebudayaan yang
lebih tinggi lagi. Bangsa Melayu Tua yang terdesak meninggalkan Yunan dan yang
tetap tinggal bercampur dengan Bangsa Aria dan Mongol. Dari artefak yang
ditemukan yang berasal dari bangsa ini yaitu kapak lonjong dan kapak
persegi.Kapak lonjong dan kapak persegi ini adalah bagian dari kebudayaan
Neolitikum. Ini berarti orang-orang Melayu Tua, telah mengenal budaya bercocok
tanam yang cukup maju dan bukan mustahil mereka sudah beternak. Dengan demikian
mereka telah dapat menghasilkan makanan sendiri (food producing). Kemampuan ini
membuat mereka dapat menetap secara lebih permanen.
Arus pendatang tidak hanya datang dalam sekali
saja. Pihak-pihak yang kalah dalam perebutan tanah di daerah asalnya akan
mencari tanah-tanah di wilayah lain. Demikian juga yang menimpa bangsa Melayu
Tua yang sudah mengenal bercocok tanam, beternak dan menetap. Kembali lagi,
daerah subur dengan aliran sungai atau mata air menjadi incaran.
Wilayah yang sudah mulai ditempati oleh bangsa
melanesoide harus diperjuangkan untuk dipertahankan dari bangsa Melayu
Tua.Tuntutan budaya yang sudah menetap mengharuskan mereka mencari tanah baru.
Dengan modal kebudayaan yang lebih tinggi, bangsa Melanesoide harus menerima
kenyataan bahwa telah ada bangsa penguasa baru yang menempati wilayah mereka.
Namun kedatangan bangsa Melayu Tua ini juga
memungkinkan terjadinya percampuran darah antara bangsa ini dengan bangsa
Melanesia yang telah terlebih dahulu datang di Nusantara. Bangsa Melanesia yang
tidak bercampur terdesak dan mengasingkan diri ke pedalaman. Sisa keturunannya
sekarang dapat didapati orang-orang Sakai di Siak, Suku Kubu serta Anak Dalam
di Jambi dan Sumatera Selatan, orang Semang di pedalaman Malaya, orang Aeta di
pedalaman Philipina, orang-orang Papua Melanesoide di Irian dan pulau-pulau
Melanesia.
Suku – suku di Indonesia :Suku Asmat di Papua,
Suku bangsa Banjar sebagian besar menempati wilayah Provinsi Kalimantan Selatan,
Suku Dani di Wamena, Papua, Indonesia. Dayak atau Daya mendiami Pulau Kalimantan.
2.
Kenapa
timbul isu istilah Pribumi dan Non Pribumi?
Setelah berlakunya UU 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, maka setiap manusia yang lahir di Indonesia
dianggap warga negara Indonesia tanpa ada memandang istilah pribumi atau
non-pribumi yang melekat karena perbedaan latar belakang etnis.
Ada beberapa kriteria Warga Negara Indonesia
(WNI) dalam UU 12 tahun 2006, antara lain:
• Seorang yang lahir dari perkawinan yang sah
dari ayah WNI dan Ibu WNI, ayah WNI dan ibu WNA, atau ayah WNA dan ibu WNI.
• anak yang lahir di wilayah negara Republik
Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan
ibunya
• Orang asing yang telah berjasa kepada negara
Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara (diberikan oleh
Presiden dan pertimbangan DPR RI) Atas dasar UU diatas dan latar belakang
munculnya isu pribumi dan non pribumi yang telah dijelaskan, sangatlah tidak
pantas apabila isu ini masih dipermasalahkan dan diungkit kembali di masa ini.
Isu pribumi dan non pribumi hanyalah hasil dari
perlakuan diskriminatif pada masa penjajahan dahulu. Sebagai mahasiswa dan
warga negara Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini.
Kita harus kembali berpedoman pada UUD 1945 dan UU 12 tahun 2006 mengenai dasar
dasar kriteria warga negara Indonesia. Apabila kita sudah mengakui sebagai
sesama WNI, kita sudah tidak boleh memandang perbedaan suku, ras, budaya, dan
agama sebagai permasalahan, dan saling merendahkan status antara satu dengan
lainnya. Kita wajib menyadarkan sesama kita bahwa tantangan terbesar yang
sedang kita hadapi bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga
perbedaan pribumi dan non-pribumi. Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan,
kemiskinan, lunturnya nasionalisme membangun bangsa, dan ancaman pihak asing
dalam bentuk ekonomi, politik, pertahanan dan multi nasional.
Perjuangan kita adalah untuk mewujudkan sistem
pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
3.
Siapa saja
yang dimaksuud Non Pribumi?
Pribumi dan non pribumi sejatinya adalah suatu
identitas diri manusia yang dibawa sejak lahir. Seseorang dikatakan sebagai
warga pribumi apabila dilahirkan di suatu tempat atau wilayah atau negara dan
menetap di sana. Pribumi ini bersifat autichton (melekat pada suatu tempat).
Secara lebih khusus, istilah pribumi ditujukan kepada setiap orang yang yang
terlahir dengan orang tua yang juga terlahir di suatu tempat tersebut. Pribumi
sendiri memiliki ciri khas, yakni memiliki bumi (tanah atau tempat tinggal yang
berstatus hak milik pribadi). Namun dari definisi dan penjabaran tentang
pribumi di atas masih menyisakan beberapa pertanyaan.
Pertama adalah, seseorang dikatakan pribumi dan
non pribumi adalah sekedar dari melihat fisiknya saja. Dan sudah jelas ini
bertentangan tentang makna asli yang terkandung dari istilah ‘pribumi’. Sebagai
contoh, tersebutlah sepasang suami-istri bernama Pak Budi dan Ibu Ina. Mereka
berdua adalah warga asli kota Bogor. Namun karena suatu alasan tertentu pindahlah
mereka berdua ke kota Milan di Italia. Di sana Ibu Yani melahirkan seorang anak
bernama Joko. Joko tumbuh dan besar di Milan. Pada akhirnya Joko menikah dengan
seorang perempuan keturunan Indonesia namun lahir di Eropa yang kebetulan
berkuliah di Milan, bernamaYanti. Dari pernikahan mereka lahirlah putri mereka
Intan, masih di kota yang sama di mana mereka bertemu. Joko dan Yanti
membesarkan Intan di Milan, hingga pada akhirnya mereka berdua berniat untuk
berkunjung ke kota asal orang tua dari Joko yaitu kota Bogor di Jawa Barat.
Bersama putri mereka Intan tibalah mereka di kota Bogor. Pertanyaannya adalah,
apakah Intan pantas dan layak disebut sebagai warga pribumi di sana? Sedangkan
dia dan ayahnya dilahirkan di Milan, Italia, dan mereka pun tidak memiliki
sepetak tanah pun di Bogor. Sudah barang tentu masyarakat di kota Bogor akan
menganggap Joko dan Intan sebagai pribumi tanpa harus menanyakan di mana mereka
lahir, karena itu sudah terlihat dari penampilan fisik mereka berdua yang
memiliki ‘wajah pribumi’.
Dari contoh paragraf di atas saja sudah jelas
tentang masih abu-abunya penentuan seseorang dianggap sebagai pribumi atau
tidak. Lalu bagaimana dengan seorang warga keturunan Tionghoa (sebut saja
bernama Hendro), yang memiliki sebidang tanah di suatu daerah di Indonesia
warisan dari nenek-moyangnya yang sejak zaman Hindia Belanda lahir besar dan
tinggal di Indonesia, pantaskah disebut sebagai seorang warga pribumi? Apabila
merujuk dari definisi asli tentang ‘pribumi’ pada paragraf kedua, Hendro adalah
seorang pribumi. Namun apakah masyarakat yang tinggal di sekitarnya ‘rela’
menyebut Hendro sebagai warga pribumi asli Indonesia? Nampaknya hal itu sangat
mustahil.
4.
Kenapa
istilah Non Pribumi yang menonjol hanya pada etnis Tionghoa?
semakin lebarnya jurang pemisah antara etnis
Tionghoa dengan etnis lainnya yang ada di Indonesia, seperti hasil observasi
yang dilakukan Tan (dalam Susetyo,1999) dikatakan memang terdapat kesan bahwa
hubungan antar etnis Tionghoa dengan etnis Indonesia lainnya cenderung tegang dan
saling curiga (Warnean dalam Susetyo, 1999) Sejak jaman penjajahan Hindia
Belanda sampai sekarang, hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis Pribumi
lainnya terus-menerus diwarnai konflik, mulai dari konflik terbesar yaitu
politik ”memecah belah bangsa” (devide et impera) yang sengaja dibuat oleh
Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia, pemberontakan PKI tahun 1965,
tragedi Mei 1998, dan konflik-konflik lainnya. Politik ”memecah belah bangsa”
merupakan awal munculnya gerakangerakan anti-Cina. Hal ini disebabkan oleh
pemberian kedudukan yang istimewa terhadap etnis Tionghoa dalam struktur
kemasyarakatan pada saat itu, yaitu di bawah Belanda dan di atas Pribumi.
Posisi orang Tionghoa ini menjadi wahana yang subur bagi tumbuh kembangnya
perasaan superior. Situasi ini telah memicu munculnya prasangka pada golongan
etnis Tionghoa terhadap golongan etnis Pribumi (Helmi, 1991).
Masa-masa yang menguntungkan bagi etnis
Tionghoa tersebut kemudian berakhir pada pemberontakan PKI 1965 dan tragedi Mei
1998. Pada saat itu, orang Tionghoa menjadi sasaran kemarahan massa, dan muncul
aksi-aksi diskriminatif seperti aksi kekerasan ”anti-Cina”. Etnis Tionghoa
diduga turut mendukung pemberontakan tersebut, akibatnya kekerasaan massa
anti-Cina mulai marak, dan pada tragedi Mei 1998, etnis Tionghoa juga menjadi
korban kemarahan massa. Perumahan dan pertokoan milik etnis Tionghoa dibakar,
dan perempuan keturunan Tionghoa diperkosa (Toer, 1998). Tragedi ini merupakan
representasi paling nyata dari adanya prasangka terhadap etnis Tionghoa
(Gerungan, 2002).
Dalam kaitannya dengan permasalahan etnis yang
terjadi di Indonesia, baik kelompok etnis Pribumi maupun kelompok etnis
Tionghoa telah membuat kategorisasi sosial berdasarkan pada karakteristik fisik
yang menonjol seperti warna kulit, bahasa yang digunakan, agama yang dianut dan
karakteristik fisik lainnya (Sears, Freedman, dan Peplau, 1985). Kelanjutan
dari kecenderungan ini adalah individu akan memandang kelompok ingroup lebih
baik dibandingkan kelompok outgroup. Kelompok outgroup biasanya akan dinilai
secara negative seperti memiliki karakteristik yang kurang dapat diterima dan
konsekuensinya kelompok outgroup tidak disukai oleh mereka yang mengkategorikan
dirinya sebagai kelompok ingroup (Soeboer, 1990). Tjun dalam Sarwono (1999)
menemukan bahwa di kalangan siswa Pribumi dan non-Pribumi, pandangan terhadap
kelompok ingroup selalu lebih positif daripada outgroup, sedangkan Hastuti
dalam Sarwono (1999) menemukan bahwa karyawan Pribumi yang berada dalam
lingkungan kerja dengan mayoritas non-Pribumi (Tionghoa) bersikap lebih positif
terhadap non-Pribumi daripada Pribumi yang bekerja di lingkungan di mana ia
sendiri menjadi minoritas.
5.
Langkah
apa yang dapat anda sarankan untuk menghilangkan isu Pribumi dan Non Pribumi di
Indonesia?
Menurut saya,
Indonesia adalah suatu negara yang menganut azas Demokrasi dan
menjunjung tinggi adanya KeTuhanan yang Maha Esa. Jadi sudah sepantasnya kita
saling menghormati dan menghargai
masing-masing manusia baik sebagai orang Pribumi maupun Non Pribumi. Selain
itu di Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan bahasa yang
berbeda-beda maka kita harus berfikir dengan cermat apabila kita ingin
membedakan atau mendiskriminasi salah satu perbedaan tersebut. Jadikanlah
perbedaan atau isu yang tidak penting sebagai pelengkap yang harus kita hindari
dari berbagai perselisihan dan pihak-pihak yang ingin menghancurkan dengan
sengaja.
sumber:
No comments:
Post a Comment